Minggu, 30 Oktober 2016

Hal Yang Dapat Disimpulkan Dalam Swamedikasi

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Berdasarkan paparan diatas maka dapat disimpulkan beberapa hal penting terkait swamedikasi antara lain  :
a.    Swamedikasi merupakan kegiatan pemilihan dan penggunaan obat modern, herbal dan obat tradisional oleh seseorang individu untuk mengatasi penyakit dan gejala penyakit yang dialaminya. Swamedikasi dapat dilakukan oleh seseorang dengan gejala penyakit ringan seperti sakit kepala, demam, batuk, pilek, mual, sakit gigi dan sebagainya yang bersifat tidak mengancam jiwa dan tidak dalam jangka waktu lama
b.     Tindakan swamedikasi memiliki keuntungan dan kerugian, selain itu dalam swamedikasi juga terdapat potensi resiko apabila tidak dilaksanakan secara bertanggung jawab seperti kesalahan dalam diagnosis diri (self-diagnosis), penundaan dalam mencari nasihat medis ketika kondisi diri telah berada pada status parah dan merugikan, interaksi obat yang berbahaya, salah cara penggunaan obat, kesalahan dosis obat, pemilihan obat yang tidak tepat, adanya penyakit berat yang tertutupi (masking of a severe disease), resiko ketergantungan dan penyalahgunaan obat.
c.   Hal-hal yang harus diperhatikan oleh masyarakat yang hendak melakukan swamedikasi antara lain kondisi pribadi, keadaan hamil atau menyusui, diet khusus, riwayat penyakit terdahulu. Hal yang harus diperhatikan selama swamedikasi antara lain meneliti obat yang akan dibeli, efek samping obat, interaksi obat, cara penggunaan, cara penyimpanan, dosis dan lain sebagainya.
d.  Untuk dapat menghindari dan mencegah terjadi kerugian dan potensi resiko dalam swamedikasi, individu yang hendak melakukan swamedikasi harus berkonsultasi dengan apoteker dalam menentukan pilihan obat yang akan digunakan dalam swamedikasi. Apoteker dapat memberikan edukasi, nasehat dan petunjuk terkait penentuan indikasi/penyakit, pemilihan obat (efektif, aman dan ekonomis), tepat dosis, cara penggunaan, cara menanggulangi efek samping obat, interaksi obat dan petunjuk kepada individu dalam memonitor keparahan penyakitnya serta arahan untuk berkonsultasi dengan dokter.

Saran
Bagi masyarakat yang hendak melakukan swamedikasi dalam mengatasi gejala penyakit ringan yang sedang dihadapinya disarankan untuk berkonsultasi langsung dengan apoteker di apotek untuk dapat memilih dan menentukan terapi yang tepat, monitoring dan arahan yang sesuai dengan kondisi kliniknya. 





DAFTAR PUSTAKA
Anief, M. 1997. Apa Yang Perlu Diketahui Tentang Obat. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Badan Pusat Statistik. 2009. Survei Ekonomi nasional (SUSENAS) tahun 2009. Jakarta : BPS.
BPOM RI. 2014. Menuju Swamedikasi yang Aman. InfoPOM, Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. Vol. 15 (1)
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2007. Pedoman Penggunaan Obat Bebas dan Bebas Terbatas. Jakarta: Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Modul Penggunaan Obat Rasional. Jakarta: Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian, Direktorat Jendral Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Departemen Kesehatan RI. 2008. Petunjuk Teknis Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek (SK. No. 1027/Menkes/SK/IX/2004). Jakarta : Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan RI.
Kementerian Kesehatan RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.
Mariyono, H. H. dan Surayana, K. 2008. Adverse Drug Reaction. J. Peny. Dalam. Vol. 9 (2).
Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 1993. Peraturan Menteri Kesehatan No. 919/Menkes/Per/X/1993 tentang Kriteria Obat Yang Dapat Diserahkan Tanpa Resep. Jakarta : Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Menteri Kesehatan RI. 2014. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 35 tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Ruiz. 2010. Risk of Self-Medication Practices. Current Drug Safety. Bentham Science Publishers Ltd.
Sukasediati, N. 1996. Peningkatan Mutu Pengobatan Sendiri Menuju Kesehatan untuk Semua. Buletin Kefarmasian, Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan. Vol. 18 (1). hal 21-27.
Supardi, S. dan Notosiswoyo, M. 2005. Pengobatan Sendiri Sakit Kepala, batuk, Pilek pada Masyarakat di Desa Ciwalen. Majalah Ilmu Kefarmasian. Vol. 2 (3). Hal 134-144.
Tan, H. T., dan Rahardja, K. 2010. Obat-Obat Penting. Jakarta: Media Komputindo.
World Health Organization. 1985. The Conference of Experts on the Rational Use of Drugs. Nairobi: WHO.
World Health Organization. 1998. The Role of the Pharmacist in Self-Care and Self-Medication. Hangue : World Health Organization.





Apa Prosedur Yang Harus Dilakukan Apoteker dalam Swamedikasi di Apotek?



2.3.1        Prosedur Tetap Swamedikasi
Dalam pelaksanaan pelayanan swamedikasi di apotek, terdapat prosedur tetap yang harus dijalankan oleh apoteker berdasarkan Petunjuk Teknik Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek (SK. No. 1027/Menkes/SK/IX/2004). Berikut adalah penjelasannya:
a.       Mendengarkan keluhan penyakit pasien yang ingin melakukan swamedikasi
b.      Menggali informasi dari pasien meliputi :
-          Tempat timbulnya gejala penyakit
-          Seperti apa rasanya gejala penyakit
-          Kapan mulai timbul gejala dan apa yang menjadi pencetusnya
-          Sudah berapa lama gejala dirasakan
-          Ada tidaknya gejala penyerta
-          Pengobatan yang sebelumnya sudah dilakukan
c.      Memilihkan obat sesuai dengan kerasional dan kemampuan ekonomi pasien dengan menggunakan obat bebas, bebas terbatas dan obat wajib apotek
d.    Memberikan informasi tentang obat yang diberikan kepada pasien meliputi: nama obat, tujuan pengobatan, cara pakai, lama pengobatan, efek samping yang mungkin timbul, hal yang harus dilakuakn maupun dihindari oleh pasien dalam menunjang pengobatan. Bila sakit berlanjut/lebih dari 3 hari hubungi dokter
e.       Mendokumentasikan data pelayanan swamedikasi yang telah dilakukan.

(Depkes RI, 2008)

Apa Peran Apoteker dalam Swamedikasi??

Gambar 3. Apoteker Sedang Membantu Pasien dalam Memilih dan Menentukan Obat
2.3.      Apoteker Dalam Swamedikasi
2.3.1        Definisi Apoteker dan Dasar Hukum Pekerjaan Kefarmasian di Apotek
Menurut Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian disebutkan bahwa Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker. Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh apoteker. Standar pelayanan kefarmasian di apotek diatur dalam Peratuan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 35 tahun 2014. Standar pelayanan kefarmasian di apotek meliputi pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai; dan pelayanan farmasi klinik. Apoteker di apotek selain melakukan pelayanan resep, juga dapat melayani obat non resep atau pelayanan swamedikasi. Dalam pelayanan swamedikasi apoteker harus memberikan edukasi kepada pasien yang memerlukan obat non resep untuk penyakit ringan dengan memilihkan obat bebas atau bebas terbatas yang sesuai.  
2.3.2        Peran Apoteker dalam Swamedikasi
Penggunaan obat bebas dan obat bebas terbatas dalam pengobatan sendiri (swamedikasi) harus mengikuti prinsip penggunaan obat secara umum yaitu penggunaan obat secara aman dan rasional. Swamedikasi yang bertanggung jawab membutuhkan produk obat yang sudah terbukti keamanan, khasiat dan kualitasnya serta membutuhkan pemilihan obat yang tepat sesuai dengan indikasi dan kondisi pasien. Dalam swamedikasi apoteker mempunyai peran yang sangat penting dalam memberikan bantuan, nasehat dan petunjuk kepada masyarakat yang ingin melakukan swamedikasi agar dapat melakukannya secara bertanggung jawab. Dalam penggunnan obat bebas dan obat bebas terbatas, apoteker memiliki 2 peran yang sangat penting yaitu menyediakan produk obat yang sudah terbukti keamanan, khasiat dan kualitasnya serta memberikan informasi yang dibutuhkan atau melakukan konseling kepada pasien (dan keluarganya) agar obat digunakan secara aman, tepat dan rasional. Konseling terutama dilakukan dalam mempertimbangkan ketepatan penantuan indikasi/penyakit, ketepatan pemilihan obat (efektif, aman, ekonomis) serta ketepatan dosis dan cara penggunaan obat. Selain itu hal yang sangat penting untuk disampaikan adalah meyakinkan agar produk yang digunakan tidak berinteraksi negatif dengan produk yang sedang digunakan atau dikonsumsi pasien. Disamping itu apoteker juga diharapkan dapat memberikan petunjuk kepada pasien bagaimana memonitor keparahan penyakitnya, serta kapan harus menghentikan pengobatannya atau kapan harus berkonsultas kepada dokter (Depkes RI, 2007).
Menurut World Health Organization (1998) dalam The Role of the Pharmacist in Self Care and Self Medication terdapat beberapa peran dan fungsi yang harus dilaksanakan oleh seorang apoteker dalam swamedikasi. Berikut adalah penjelasannya :
a.       As A Communicator
            Dalam menjalankan peran sebagai komunikator apoteker harus memulai dialog dengan pasien untuk mendapatkan riwayat pengobatan dan penyakit yang lebih rinci. Untuk dapat mengidentifikasi keaadan pasien secara tepat apoteker harus mengajukan beberapa pertanyaan kunci dan menyampaikan informasi yang relevan. Apoteker harus siap dan memadai dalam melakukan skrining secara tepat untuk mengetahui kondisi dan penyakit tertentu tanpa mengganggu otoritas dari penulis resep. Apoteker harus memberikan informasi yang objektif tentang obat-obatan, mampu menafsirkan menggunakan dan menafsirkan sumber informasi tambahan untuk memenuhi kebutuhan pasien. Apoteker harus dapat membantu pasien dalam memilih dan menentukan obat yang tepat serta bentanggung jawab dalam swamedikasi pasien dan bila menentukan secara tepat anjuran untuk pasien dirujuk ke dokter. Apoteker harus menjamin kerahasian mengenai kondisi detail pasien (WHO, 1998).
b.      As A Quality Drug Supplier
Apoteker harus memastikan ketersediaan obat yang hendak dibeli oleh konsumen dalam keadaan yang baik, aman dan berkualiatas. Apoteker juga harus memastikan bahwa obat tersebut telah disimpan pada kondisi penyimpanan yang tepat (WHO, 1998).  
c.       As A Trainer And Supervisor
            Untuk memastikan bahwa pelayanan yang diberikan di apotek adalah pelayanan yang terstandar dan terkini sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka apoteker harus didorong untuk berpartisipasi dalam kegiatan pengembangan professional seperti pendidikan berkelanjutan. Apoteker harus memastikan bahwa semua pelayanan yang diberikan telah sesuai dengan standar pelayanan kefarmasian di apotek baik oleh dirinya dan tenaga kefarmasian lainnya (WHO, 1998).
d.      As A Collaborator
            Sangat penting bahwa apoteker mengembangkan hubungan kolaboratif yang berkualitas dengan beberapa pihak berikut:
a.       Tenaga profesi kesehatan lainnya
b.      Asosiasi profesi nasional
c.       Industri farmasi
d.      Pemerintah lokal maupun nasional
e.       Pasien dan masyarakat umum
Dengan demikian maka peluang untuk memanfaatkan sumber daya dan keahlian untuk berbagi data dan pengalaman dalam rangka meningkatkan pelayanan swamedikasi akan meningkat (WHO, 1998).
e.       As A Health Promoter
Sebagai promoter kesehatan, apoteker yang merupakan salah satu tenaga profesi kesehatan yang harus ikut berpartisipasi dalam :
a.       Berpartisipasi untuk melakukan skrining dalam mengidentifikasi masalah kesehatan dan resiko
b.      Berpartisipasi dalam kampanye kesehatan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terkait isu kesehatan dan upaya pencegahan penyakit.
c.       Memberikan saran kepada tiap individu untuk terkait pemilihan obat dan informasi kesehatan
(WHO, 1998).
f.       Spesific Situation

            Di beberapa negara berkembang, rasio apoteker dan populasi apotek sangat rendah sehingga akses pelayanan farmasi terhambat. Dalam kasus tersebut masyarakat perlu didorong untuk berkonsultasi dengan tenaga kesehayan lainnya, perawat rumah tangga dan orang awam yang tepat, dengan catatan bahwa tenaga selain apoteker tersebut telah menerima pelatihan dan orientasi terkait kefarmasian (WHO, 1998). 

Swamedikasi Bagi Masyarakat


2.2.      Swamedikasi Bagi Masyarakat
2.2.1.      Kebiasaan Masyarakat Dalam Swamedikasi
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (2013) oleh Kementerian Kesehatan RI diperoleh data bahwa, dari 35,2 % rumah tangga menyimpan obat untuk swamedikasi terdapat obat keras, obat bebas, antibiotika, obat tradisional dan obat-obatan yang tidak teridentifikasi. Secara nasional proporsi rumah tangga yang menyimpan obat keras 35,7 % dan antibiotika 27,8%. Ditinjau dari status obat yang digunakan untuk tujuan swamedikasi secara nasional diperoleh data sebesar 32,1% pada status sedang digunakan, 42,2% untuk persediaan dan 47,0% dengan status obat sisa.
2.2.2.      Hal yang Perlu Diperhatikan Sebelum Swamedikasi
Dalam swamedikasi terdapat hal yang harus diperhatikan oleh tiap individu yang hendak melakukan pengobatan sendiri. Sebelum melakukan melakukan swamedikasi kita harus memperhatikan kondisi orang yang akan diobati, beberapa kondisi tersebut antara lain kehamilan, berencana untuk hamil, menyusui, umur (balita atau lansia), sedang dalam diet khusus seperti misalnya diet gula, sedang atau baru saja berhenti mengkonsumsi obat lain atau suplemen makanan, serta mempunyai masalah kesehatan baru selain penyakit yang selama ini diderita dan sudah mendapatkan pengobatan dari dokter. Pemilihan obat untuk ibu hamil dilakukan dengan lebih hati-hati, karena beberapa jenis obat dapat menimbulkan pengaruh yang tidak diinginkan bagi janin. Beberapa jenis obat yang juga disekresikan ke dalam air susu ibu. Walaupun dalam jumlah kecil namun mungkin dapat berpengaruh pada bayi. Pemilihan jenis obat juga perlu diperhatikan pada orang yang sedang diet khusus seperti diet rendah garam atau rendah gula, karena selain mengandung zat aktif berkhasiat, komposisi obat juga terdiri dari zat tambahan lain yang harus diperhatikan oleh pasien dengan diet khusus tersebut (BPOM RI, 2014).
2.2.3.      Hal yang Harus Diperhatikan Selama Swamedikasi
a.       Meneliti obat yang akan dibeli
Pada saat akan membeli obat, pertimbangkan bentuk sediaannya (tablet, sirup, kapsul, krim dll) dan pastikan bahwa kemasannya tidak rusak. Lihatlah dengan teliti kemasan luar maupun kemasan dalam produk obat. Jangan mengambil obat yang menunjukkan adanya kerusakan walaupun kecil. Pastikan bahwa obat yang digunakan telah memiliki izin edar karena berarti obat tersebut telah memenuhi persyaratan keamanan, khasiat dan mutu yang ditetapkan oleh Badab POM. Hal lain yang harus diperhatikan adalah tanggal kadaluwarsa, tanggal ini menandakan bahwa sebelum tanggal tersebut obat masih memenuhi persyaratan dan aman untuk digunakan (BPOM RI, 2014)
b.      Efek samping obat
Efek samping obat adalah efek yang tidak diinginkan dari pengobatan dengan pemberian dosis obat yang digunakan untuk profilaksis, diagnosis maupun terapi (WHO, 1972). Beberapa reaksi efek samping obat dapat timbul pada semua orang, sedangkan beberapa obat efek sampingnya hanya timbul pada orang tertentu (Mariyono dan Suryana, 2008). Baca dengan seksma kemasan atau brosur obat, terkait efek samping yang mungkin timbul. Efek samping yang mungkin timbul antara lain reaksi alergi, gatal-gatal, ruam, mengantuk, mual dan lain-lain. Oleh karena itu penting untuk mengetahui efek samping yang mungkin terjadi dan apa yang harus dilakukan saat mengalami efek samping tersebut. Bila terjadi efek samping, segera hentikan pengobatan dan konsultasikan dengan tenaga kesehatan (BPOM, 2014).
c.       Cara penggunaan
Dalam cara penggunaan obat terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan menurut Pedoman Penggunaan Obat Bebas dan Bebas Terbatas (2007) yaitu sebagai berikut:
-          Penggunaan obat tidak untuk pemakaian secara terus menerus
-          Gunakan obat sesuai dengan anjuran yang tertera pada etiket atau brosur
-    Bila obat yang digunakan menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan dentikan penggunaan dan tanyakan kepada apoteker dan dokter
-          Hindari penggunaan obat orang lain walaupun gejala penyakit sama
-    Untuk mendapatkan informasi penggunaan obat yang lebih lengkap tanyakan kepada apoteker.


Cara pemakaian obat yang tepat disesuaikan dengan jenis obat tersebut dan dengan petunjuk penggunaan, pada saat yang tepat dan dalam jangka waktu terapi yang sesuai dengan anjuran. 
Gambar 2. Hal yang diperhatikan dalam penggunaan obat (Depkes RI, 2007)

d.       Cara penyimpanan
Berikut adalah cara penyimpanan obat yang baik tepat :
-          Simpan obat dalam kemasan asli dan dalam wadah tertutup rapat
-        Simpan obat pada suhu kamar dan terhindar dari sinar matahari langsung atau seperti yang tertera pada kemasan.
-        Simpan obat ditempat yang tidak panas atau tidak lembab karena dapat menimbulkan kerusakan
-         Jangan menyimpan obat bentuk cair dalam lemari pendingin agar tidak beku, kecuali jika tertulis pada etiket obat.
-          Jangan menyimpan obat yang telah kadaluarsa atau rusak.
-          Jauhkan dari jangkauan anak-anak.
(Depkes RI, 2007)
b.      Tanggal Kadaluwarsa
Tanggal kadaluarsa menunjukkan bahwa sampai dengan tanggal yang dimaksud, mutu dan kemurnian obat dijamin masih tetap memenuhi syarat. Tanggal kadaluarsa biasanya dinyatakan dalam bulan dan tahun. Obat rusak merupakan obat yang mengalami perubahan mutu, seperti :
-          Tablet
1.      Terjadi perubahan warna, bau atau rasa
2.      Kerusakan berupa noda, berbintik-bintik, lubang, sumbing, pecah, retak dan atau terdapat benda asing, jadi bubuk dan lembab
3.      Kaleng atau botol rusak
-          Tablet salut
1.      Pecah-pecah, terjadi perubahan warna
2.      Basah dan lengket satu dengan lainnya
3.      Kaleng atau botol rusak sehingga menimbulkan kelainan fisik
-          Kapsul
1.      Perubahan warna isi kapsul
2.      Kapsul terbuka, kosong, rusak atau melekat satu sama lain
-          Cairan
1.      Menjadi keruh atau timbul endapan
2.      Konsistensi berubah
3.      Warna atau rasa berubah
4.      Botol plastik rusak atau bocor
-          Salep
1.      Warna berubah
2.      Pot atau tube rusak atau bocor
3.      Bau berubah
(Depkes RI, 2007)

Apa itu Swamedikasi??

BAB II
ISI


2.1.      Swamedikasi
2.1.1        Definisi
Pengobatan sendiri atau swamedikasi merupakan kegiatan pemilihan dan penggunaan obat modern, herbal dan obat tradisional oleh seseorang individu untuk mengatasi penyakit dan gejala penyakit yang dialaminya. Menurut Departemen Kesehatan RI (1993) swamedikasi didefinisikan sebagai upaya seseorang dalam mengobati gejala penyakit tanpa konsultasi terlebih dahulu dengan dokter. Swamedikasi juga berarti mengobati segala keluhan pada diri sendiri dengan obat-obatan sederhana yang dibeli bebas di apotek atau toko obat atas inisiatif sendiri tanpa nasehat dokter (Tan & Rahardja, 2010).
Swamedikasi bertujuan untuk meningkatkan kesehatan diri, mengobati penyakit ringan dan mengelola pengobatan rutin dari penyakit kronis setelah melalui pemantauan dokter. Fungsi dan peran swamedikasi lebih terfokus pada penangan terhadap gejala secara cepat dan efektif tanpa intervensi sebelumnya oleh konsultan medis kecuali apoteker, sehingga dapat mengurangi beban kerja pada kondisi terbatasnya sumber daya dan tenaga (WHO, 1998).
Ciri-ciri umum mengenai swamedikasi yaitu :
a.  Dipengaruhi oleh perilaku seseorang yang dikarenakan kebiasaan, adat, tradisi ataupun kepercayaan
b.      Dipengaruhi faktor sosial politik dan tingkat pendidikan
c.       Dilakukan bila dirasa perlu
d.      Tidak termasuk dalam kerja medis professional
e.       Bervariasi praktiknya dan dilakukan oleh semua kelompok masyarakat
(Sukasediati, 1996).
Swamedikasi dilakukan masyarakat untuk mengatasi gejala penyakit ringan yang dapat dikenali sendiri. Menurut Winfield dan Richards (1998) kriteria penyakit ringan yang dimaksud adalah penyakit yang jangka waktunya tidak lama dan dipercaya tidak mengancam jiwa pasien seperti sakit kepala, demam, batuk, pilek, mual, sakit gigi dan sebagainya.
2.1.2        Dasar Hukum
Dasar hukum swamedikasi adalah Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 919/MENKES/PER/X/1993 tentang Kriteria Obat Yang Dapat Diserahkan Tanpa Resep. Resep yang dimaksud adalah permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi dan dokter hewan kepada apoteker pengelola apotek untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi penderita sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Obat yang dapat diserahkan tanpa resep harus memenuhi kriteria:
a.   Tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil, anak dibawah usia 2 tahun dan orang tua diatas 65 tahun
b.  Pengobatan sendiri dengan obat yang dimaksud tidak memberikan resiko pada kelanjutan penyakit
c.    Penggunaan tidak memerlukan cara dan atau alat khusus yang harus dilakukan oleh tenaga kesehatan
d.   Penggunaannya diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di Indonesia
e.   Obat yang dimaksud memiliki rasio khasiat keamanan yang dapat dipertanggungjawabkan untuk pengobatan sendiri.
(Menteri Kesehatan RI, 1993)
2.1.3        Kelebihan dan Kekurangan Swamedikasi
Menurut Anief (1997) kelebihan dari tindakan swamedikasi adalah lebih mudah, cepat, tidak membebani pelayanan kesehatan dan dapat dilakukan oleh diri sendiri. Selain itu dapat menghemat biaya ke dokter, menghemat waktu dan segera dapat beraktivitas kembali. Kelebihan lainnya menurut Supardi dkk (2005) meliputi aman apabila digunakan sesuai dengan petunjuk (efek  samping dapat diperkirakan), efektif untuk menghilangkan keluhan karena 80% sakit yang bersifat self limiting, sembuh sendiri tanpa intervensi tenaga kesehatan, biaya pembelian obat relatif lebih murah daripada biaya pelayanan kesehatan, hemat waktu karena tidak perlu menggunakan fasilitas atau profesi kesehatan, kepuasan karena ikut berperan serta dalam sistem pelayanan kesehatan, menghindari rasa malu atau stres  apabila harus menampakkan bagian tubuh tertentu di hadapan tenaga kesehatan, dan membantu pemerintah untuk mengatasi keterbatasan jumlah tenaga kesehatan pada masyarakat.
Namun kekurangan dan resiko dalam swamedikasi antara lain, obat dapat membahayakan kesehatan apabila tidak digunakan sesuai dengan aturan, pemborosan biaya dan waktu apabila salah menggunakan obat, kemungkinan kecil dapat timbul reaksi obat yang tidak diinginkan, misalnya sensitifitas, efek samping atau  resistensi, penggunaan obat yang salah akibat salah diagnosis dan pemilihan obat dipengaruhi oleh pengalaman menggunakan obat di masa lalu dan lingkungan sosialnya (Supardi dkk, 2005). Selain itu dampak negatif swamedikasi adalah masyarakat keyakinan pengobatan swamedikasi dapat dilakukan untuk setiap penyakit. Menurut Ruiz (2010) terdapat potensi resiko dalam swamedikasi antara lain kesalahan dalam diagnosis diri (self-diagnosis), penundaan dalam mencari nasihat medis ketika kondisi diri telah berada pada status parah dan merugikan, interaksi obat yang berbahaya, salah cara penggunaan obat, kesalahan dosis obat, pemilihan obat yang tidak tepat, adanya penyakit berat yang tertutupi (masking of a severe disease), resiko ketergantungan dan penyalahgunaan obat.
2.1.4        Terapi Rasional
Pada tindakan pengobatan sendiri atau swamedikasi dibutuhkan penggunaan obat yang rasional. Menurut WHO (1985) pengobatan yang rasional adalah bila pasien menerima obat yang sesuai dengan kebutuhannya, untuk periode waktu yang adekuat dengan harga yang paling murah untuk pasien dan masyarakat. Secara praktis penggunaan obat dikatakan rasional jika memenuhi kriteria, tepat diagnosis, tepat indikasi penyakit, tepat pemilihan obat, tepat dosis, tepat cara pemberian, tepat interval waktu pemberian, tepat lama pemberian, waspada terhadap efek samping, tepat penilaian kondisi pasien, tepat informasi, tepat tindak lanjut (follow up), tepat penyerahan obat (dispensing) (Menteri Kesehatan RI, 2011).
a.       Tepat indikasi
Tepat indikasi adalah adanya kesesuaian antara diagnosis pasien dengan obat yang diberikan.
b.      Tepat obat
Tepat obat adalah pemilihan obat dengan memperhatikan efektivitas, kemanan, rasionalitas dan murah, Tepat obat meliputi ketepatan kelas terapi dan jenis terapi, kemanfaatan, kemudahan mendapatkan.
c.       Tepat dosis regimen
Tepat dosis regimen adalah pemberian obat yang tepat dosis (takaran obat), tepat rute (cara pemberian), tepat saat (waktu pemberian), tepat interval (frekuensi) dan tepat lama pemberian (durasi).
d.      Tepat Pasien
Tepat pasien adalah obat yang diberikan sesuai dengan kondisi pasien yang meliputi umur, faktor genetik, kehamilan, alergi dan penyakit lain.
e.       Waspada Efek Samping
Waspada terhadap resiko efek samping yang dimiliki oleh setiap obat dan dikaitkan pula dengan keadaan riwayat klinis pasien.
2.1.5        Obat Dalam Swamedikasi
Obat-obat yang dapat digunakan dalam swamedikasi meliputi obat-obat yang dapat diserahkan tanpa resep, obat tersebut meliputi obat bebas (OB), obat bebas terbatas (OBT) dan obat wajib apotek (OWA) (Depkes RI, 2008).
a.       Obat bebas adalah obat yang dijual bebas dipasaran dan dapat dibeli tanpa resep dokter. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat bebas adalah lingkaran hijau dengan garis tepi berwarna hitam (Menteri Kesehatan RI, 2007)
b.      Obat bebas terbatas adalah obat yang sebenarnya termasuk obat keras tetapi masih dapat dijual atau dibeli bebas tanpa resep dokter, dan disertai dengan tanda peringatan. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat bebas terbatas adalah lingkaran biru dengan garis tepi berwarna merah. Tanda peringatan selalu tercantum pada kemasan obat bebas terbatas, berupa empat persegi panjang berwarna hitam berukuran panjang 5 cm, lebar 2 cm dan memuat pemberitahuan berwarna putih sebagai berikut:


(Menteri Kesehatan RI, 2007)
c.       Obat wajib apotek adalah obat-obatan yang dapat diserahkan tanpa resep dokter, namun harus diserahkan oleh apoteker di apotek. Terdapat daftar obat wajib apotek yang dikeluarkan berdasarkan keputusan Menteri Kesehatan RI, yang hingga saat ini sudah ada 3 daftar obat yang diperbolehkan diserahkan tanpa resep dokter. Peraturan mengenai daftar obat wajib apotek tercantum dalam
-      Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 347/Menkes/SK/VII/1990 yang berisi Daftar Obat Wajib Apotek No. 1.
-        Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 924/Menkes/Per/X/1993 tentang Daftar Obat Wajib Apotek No. 2
-          Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1176/Menkes/SK/X/1999 tentang Daftar Obat Wajib Apotek No. 3.